Sunday, June 16, 2024

Kajian Rutin Ahad, 16 Juni 2024

 

Kajian Rutin Ahad, 16 Jun 2024 bersama Ustadz Retno Ahmad Pujiono, LC.
Nabi Ibrahim AS, sebagai suri tauladan
Qurban adalah peristiwa monumental yang selain memiliki nilai sejarah, juga mengandung nilai ibadah dan hikmah. Nabiyullah Ibrahim diperintah oleh Allah menyembelih anak kesayangannya, sebagai wujud ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Padahal sudah berpuluh tahun lamanya beliau menunggu kelahiran putranya, namun ketika Ismail alaihissalam menginjak remaja, Allah malah memerintahkannya untuk menyembelih buah hatinya. Sebagai bagian dari ajaran agama, ada beberapa nilai pendidikan yang bisa dipetik dari peristiwa yang dijalani oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihimassalam ini.
Pertama. 
Ketaatan menjalankan perintah Allah. Secara rasional, mustahil menyembelih anak sendiri, namun karena perintah, Nabiyullah Ibrahim melaksanakannya, walaupun Allah kemudian menggantinya dengan seekor domba. Ada satu hal menarik dalam dialog antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail yang diabadikan dalam Surat Ash-Shaffat, ayat 102.
Artinya: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu” Ketika menyampaikan kabar ini, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga menunggu reaksi dari putranya, yaitu Ismail ‘alaihissalam, dengan menanyakan pendapatnya.

 فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى. 
 “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” 

Ketika sang ayah memberikan pertanyaan tersebut, maka Ismail ‘alaihissalam menjawabnya dengan penuh kepastian.

 قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ 
 “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” 

Dalam membuat keputusan penting, ayah mengajak anaknya berdialog. Si ayah yang bijak, dan anak remaja yang mulai tumbuh pemikirannya. Keduanya membuat keputusan bersama. Saat ini, pola komunikasi seperti ini jarang terjadi. Orangtua sibuk sendiri, sedangkan anak juga asyik dengan urusannya. Komunikasi pun macet. Akhirnya lebih banyak bertengkar. Bahkan, biasanya broken home terjadi karena bermula dari komunikasi yang bermasalah antara orangtua dengan anak.
 

KEDUA: 
PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM HIDUP 
 Dalam rentetan ayat tentang pergulatan batin Ibrahim dan Ismail tadi, Allah akhiri firman-Nya itu dengan kalimat: 107-106

 إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ؛ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (الصافات: 106-107) 

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Lalu kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. Kurban dan pengorbanan yang dikehendaki harus berlandaskan niat ikhlas kepada Allah. Inilah yang menyebabkan kurban salah satu putra Nabi Adam diterima dan satunya lagi ditolak oleh Allah (QS. al-Maidah: 27). 

Oleh sebab itu, bagi kita yang berkurban patut merenungkan firman Allah ini:

 لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ (الحج: 37) 

Al-Wahidi, al-Zamakhsyari, al-Nasafi, al-Mahalli dan al-Suyuti dalam tafsir masing-masing menjelaskan maksud “tidak sampai kepada Allah, kecuali” itu dengan: amal baik (kurban) itu bernilai di sisi Allah jika diniatkan ikhlas karena mengharap rida-Nya, menjauhkan dari prestise (riya-sum’ah) agar dianggap dermawan, dst.

 Jika direnungkan, memang berat berlaku ikhlas itu apalagi dengan kondisi kita hari ini. Jika tidak hati-hati, media sosial dapat melenyapkan setiap perkara baik yang kita lakukan. 
Sebelum share, ada baiknya kita berfikir untuk apa kita menulis di dinding facebook, twitter, instagram, dll, apakah untuk memotivasi orang lain berbuat sama (dakwah) atau justru untuk menunjukkan eksistensi dan berbangga saja? 

 KETIGA: KEBERHASILAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA 
Pelajaran ketiga dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim as adalah keberhasilan beliau mendidik putra dan keluarganya, khususnya sang anak Ismail yang erat kaitannya dengan prosesi manasik haji dan ibadah qurban yang sedang kita hadapi ini. Ismail bukan saja berbakti kepada orang tua, bahkan dia mempunyai kualitas iman yang kokoh. Manifestasi iman kokoh inilah yang melahirkan ibadah, kepatuhan dan akhlak yang baik. Betapa hebat jiwa yang dimiliki oleh sang anak atas didikan orang tua yang bijaksana. 
Hanya orang tua hebat yang dapat melahirkan anak dengan kualitias jiwa yang hebat pula. Ucapannya lembut, penuh takzim, sikapnya sabar, tawakal serta dapat menghibur ayahnya di tengah kebimbangan luar biasa.

Kalau ditanya orang tua atau anak kita hari ini, sebagian pasti berkata: tentulah, mereka keluarga Nabi, tantangan mendidik anak belum sehebat sekarang, internet belum ada, dan banyak lagi dalih kita untuk membela diri dan generasi zaman ini? Semua dalih tidak semua keliru, dan tidak betul sepenuhnya. Tapi perlu kita sadari, Nabi Ibrahim dan keluarga bukan tanpa masalah. Dapatkah kita membayangkan, di saat dua perintah Allah itu datang sekaligus. Antara meninggalkan isteri dan anaknya yang masih kanak-kanak di gurun tandus tiada kehidupan dan manusia di sana demi meneruskan perjuangan lain yang telah ditetapkan Allah di tempat lain. 
Luruskan lagi orientasi kita dalam mendidik, di mana anak kita disekolahkan atau berkuliah. Bukan sekedar negeri/swasta, murah/mahal uang sekolah/kuliah, pilihan jurusannya gampang dapat kerja atau tidak, melainkan yang ditimbang itu: Kepada siapa dia berguru, sumber daya pendidiknya seperti apa, adakah mengajarkan keteladanan, bukan sekedar transfer of konowledge?





No comments:

Post a Comment