Pada kesempatan kali ini, kajian menghadirkan Ustadz Retno Ahmad Pujianto untuk mengupas tuntas pesan-pesan mendalam dari Al-Quran, khususnya Surah Al-Fajr ayat 15 hingga 18.
Mengawali kajian, Ustadz Retno melontarkan sebuah pertanyaan reflektif yang langsung menyentuh benak para hadirin: "Apakah benar bahwa orang yang kaya secara otomatis mulia derajatnya di sisi Allah, dan sebaliknya, apakah orang yang miskin lantas dianggap hina?" Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk memahami tafsir Surah Al-Fajr yang akan dibahas.
Ustadz Retno kemudian membacakan dan menjelaskan Surah Al-Fajr ayat 15-16:
فَاَ مَّا الْاِ نْسَا نُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَ كْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْۤ اَكْرَمَنِ وَاَ مَّاۤ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْۤ اَهَا نَنِ
Artinya: "Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, Tuhanku telah memuliakanku.Dan adapun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, Tuhanku telah menghinaku."
(QS. Al-Fajr 89: 15-16)
Ustadz Retno menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah SWT menggambarkan bagaimana manusia seringkali keliru dalam memahami hakikat kemuliaan dan kehinaan. Ketika Allah meluaskan rezeki dan memberikan kenikmatan, sebagian manusia merasa bahwa hal itu adalah bukti kemuliaan dirinya di sisi Allah. Mereka menyangka bahwa kekayaan adalah tolok ukur derajat. Sebaliknya, ketika rezeki disempitkan, mereka beranggapan bahwa Allah telah menghinakan mereka.
Namun, Ustadz Retno melanjutkan dengan membacakan ayat berikutnya, Surah Al-Fajr ayat 17, yang menjadi sanggahan atas pemahaman yang keliru tersebut:
كَلَّا بَلْ لَّا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَۙ
Artinya: "Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim," (QS. Al-Fajr 89: 17)
Ayat ini, menurut Ustadz Retno, dengan tegas membantah anggapan bahwa kelapangan rezeki adalah indikator kemuliaan dan kesempitan rezeki adalah kehinaan. Allah SWT memberikan contoh nyata melalui perilaku kaum kafir Quraisy, termasuk tokoh seperti Umayyah bin Khalaf, seorang hartawan yang justru meremehkan dan menindas Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya yang lemah secara materi. Kekayaan Umayyah tidak menjadikannya mulia di sisi Allah, justru sebaliknya, kesombongan dan kezalimannya mendatangkan murka Allah.
Ustadz Retno menekankan bahwa banyak sedikitnya harta hanyalah sebuah ujian dari Allah SWT. Melalui harta, Allah menguji bagaimana manusia bersyukur ketika diberi kelapangan dan bagaimana mereka bersabar serta tetap beriman ketika diuji dengan kesempitan. Harta bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menggapai ridha Allah.
Lebih lanjut, Ustadz Retno menyoroti fenomena zaman sekarang di mana banyak orang terjebak dalam mencari harta secara instan dan tidak diridhai oleh Allah SWT. Mereka menghalalkan segala cara demi kekayaan duniawi, tanpa mempedulikan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Hal ini semakin menjauhkan mereka dari hakikat kemuliaan yang sebenarnya.
Ustadz Retno juga meluruskan pemahaman yang sempit mengenai rezeki. Beliau menjelaskan bahwa rezeki tidak hanya terbatas pada harta benda. Rizky yang paling mahal dan utama adalah nikmat Islam, hidayah, dan kemudahan dalam menjalankan ibadah. Kesehatan, keluarga yang sakinah, dan ilmu yang bermanfaat juga merupakan rezeki yang patut disyukuri.
Kemudian, Ustadz Retno mengaitkan pembahasan dengan ayat selanjutnya, Surah Al-Fajr ayat 18:
وَلَا تَحٰٓضُّوْنَ عَلٰى طَعَا مِ الْمِسْكِيْنِ
Artinya: "dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin," (QS. Al-Fajr 89: 18)
Ayat ini, menurut Ustadz Retno, menunjukkan salah satu indikator penting yang membedakan antara orang yang benar-benar beriman dan yang hanya terbuai dengan kekayaan duniawi. Orang yang beriman akan memiliki kepedulian sosial yang tinggi, termasuk mengajak dan mendorong orang lain untuk berbagi rezeki dengan kaum dhuafa. Mereka tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan di sekitar mereka.
Di akhir kajiannya, Ustadz Retno Ahmad Pujianto mengajak seluruh jamaah untuk merenungkan kembali makna kemuliaan dan kehinaan dalam perspektif Islam. Beliau mengingatkan bahwa kemuliaan sejati terletak pada ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta kepedulian terhadap sesama.
Kekayaan hanyalah titipan dan ujian, yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Sementara itu, kemiskinan bukanlah aib, melainkan juga ujian kesabaran dan keimanan.
Kajian rutin Ahad pagi di Masjid Al Mu'minun kali ini memberikan pencerahan yang mendalam bagi para jamaah. Pemahaman yang benar tentang Surah Al-Fajr diharapkan dapat mengubah paradigma berpikir tentang harta, kemuliaan, dan kehinaan, serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama, khususnya kaum miskin. Semoga kajian ini menjadi bekal berharga bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
No comments:
Post a Comment