![]() |
Kajian Rutin Ahad Pagi, 22 Juni 2025: Ustadz Andi |
1 Muharram 1447, akan segera tiba. Momen ini bukan sekadar pergantian angka di kalender, melainkan sebuah kesempatan emas untuk merenungkan perjalanan hidup yang telah dilalui dan merancang masa depan yang lebih baik. Dengan berpegang teguh pada tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, mari kita siapkan diri menghadap Allah SWT dengan hati yang tenang dan amal yang memberatkan timbangan. Membangun Keluarga yang Qurrota A'yun Salah satu doa indah yang diabadikan dalam Al-Qur'an adalah permohonan agar dikaruniai keluarga yang menjadi penyejuk hati:
QS. Al-Furqan (25): 74:
"Rabbanā hab lanā min azwājinā wa dhurriyyātinā qurrata a'yun, waj'alnā lil-muttaqīna imāmā."
Artinya: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."
Doa ini mengandung makna yang sangat dalam. Bukan hanya sekadar meminta keturunan yang saleh, tetapi juga keluarga yang membawa kebahagiaan dan ketenangan, serta mampu menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar. Untuk mewujudkan ini, dibutuhkan usaha bersama dari setiap anggota keluarga, terutama dalam menjaga kualitas ibadah.
Salat: Tiang Agama dan Amalan Pertama yang Dihisab
Salat adalah pilar utama agama Islam dan amalan pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah salatnya." (HR. At-Tirmidzi).
Ini menunjukkan betapa krusialnya peran salat dalam kehidupan seorang Muslim.
Lalu, bagaimana dengan salat anak-anak dan pasangan kita? Sebagai orang tua dan pasangan, kita memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing mereka agar istiqamah dalam mendirikan salat. Mengajarkan, mengingatkan, dan memberikan teladan adalah kunci agar salat menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Dengan begitu, salat tidak hanya menjadi kewajiban ritual, tetapi juga benteng yang menghalangi dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah:
"...Innāṣ-ṣalāta tanhā 'anil-faḥsyā'i wal-munkar..."
Artinya: "...Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..." (QS. Al-Ankabut (29): 45).
Refleksi Diri Menuju Usia 40 Tahun
Usia 40 tahun seringkali disebut sebagai "usia kematangan". Pada usia ini, seseorang diharapkan telah mencapai puncak kedewasaan akal dan spiritual.
Firman Allah dalam QS. As-Saffat (37): 100 yang merupakan doa Nabi Ibrahim AS:
"Rabbi hab lī minaṣ-ṣāliḥīn."
Artinya: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh."
Doa ini sering dikaitkan dengan keinginan untuk memiliki keturunan yang saleh. Namun, dalam konteks refleksi diri, doa ini juga dapat dimaknai sebagai permohonan agar kita senantiasa menjadi pribadi yang saleh di setiap fase kehidupan, terutama ketika mencapai usia 40 tahun. Ini adalah momen untuk mengevaluasi kembali sejauh mana kita telah mencapai potensi diri dan berkontribusi kepada umat.
Empat Pertanyaan Allah di Hari Kiamat
Hadis Rasulullah SAW menjadi pengingat yang sangat kuat tentang pertanggungjawaban kita di akhirat:
"Kedua kaki seseorang tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai diberi pertanyaan (tentang) umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa dimanfaatkan, hartanya dari mana (diperoleh) dan untuk apa dibelanjakan, dan tubuhnya untuk apa digunakan." (HR. At-Tirmidzi)
Empat pertanyaan ini adalah cerminan dari seluruh aspek kehidupan kita:
- Umur: Setiap detik kehidupan adalah anugerah. Sudahkah kita menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Allah?
- Ilmu: Ilmu yang kita miliki, baik ilmu agama maupun ilmu dunia, haruslah diamalkan dan disebarkan untuk kemaslahatan umat.
- Harta: Harta adalah titipan. Penting untuk memastikan bahwa harta kita diperoleh dari jalan yang halal dan dibelanjakan di jalan Allah, bukan untuk kesombongan apalagi terjebak dalam riba yang dilaknat. Jauhi hutang yang riba karena ia membawa kehancuran baik di dunia maupun di akhirat.
- Tubuh: Mata, telinga, tangan, dan kaki kita adalah amanah. Sudahkah kita menggunakannya untuk melihat kebaikan, mendengar hal yang baik, berbuat kebaikan, dan melangkah di jalan yang diridai-Nya? Jangan Sampai Harta Memalingkan Kita Kisah Nabi Sulaiman AS dan Qarun memberikan pelajaran berharga tentang harta.
Nabi Sulaiman adalah figur yang kaya raya namun selalu bersyukur dengan mengucapkan "Hadza min fadli Rabbi" (Ini termasuk karunia Tuhanku). Beliau menggunakan kekayaannya untuk beribadah dan menyebarkan kebaikan. Sebaliknya, Qarun, yang sangat kaya, menjadi sombong dan kufur nikmat, hingga akhirnya ditenggelamkan bersama hartanya.
Hadis tentang kaum muhajirin yang miskin yang mendahului masuk surga 40 tahun sebelum orang kaya, juga menjadi renungan penting. Ini bukan berarti kemiskinan lebih mulia dari kekayaan, melainkan tentang hati yang terpaut pada Allah, bukan pada harta.
Harta bisa menjadi ujian, dan hanya mereka yang mampu mengelolanya dengan baik, tanpa tergoda pada kesombongan dan riba, yang akan selamat.
Menyongsong 1447 Hijriyah dengan Persiapan Matang
Tahun baru 1447 Hijriyah adalah momen untuk memperbarui niat dan menguatkan tekad. Mari kita jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk:
Meningkatkan kualitas salat dan membimbing keluarga untuk senantiasa mendirikannya.
Memperbanyak doa agar dikaruniai keluarga yang qurrota a'yun.
Memanfaatkan sisa umur dengan sebaik-baiknya, mengamalkan ilmu, dan menggunakan harta serta tubuh di jalan yang benar.
Menghindari riba dalam segala bentuknya dan membersihkan harta dari hal yang syubhat.
Menjadi pribadi yang bersyukur atas segala nikmat, layaknya Nabi Sulaiman, dan menjauhi sifat kufur nikmat.
Dengan persiapan yang matang dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, semoga kita semua dapat menyongsong tahun baru 1447 Hijriyah dengan semangat baru dan menjadi hamba-Nya yang senantiasa dalam lindungan dan ridha-Nya.
No comments:
Post a Comment