BAHAGIA adalah kata yang paling sering diucapkan dalam doa. Doa saat ulang tahun, pernikahan, doa sesudah shalat maupun dalam acara-acara seremonial. Sepertinya setiap orang merindu-dambakan kebahagiaan. Sayangnya tidak semua orang tahu apakah arti kebahagiaan, jalan menuju kebahagiaan dan apa yang bisa benar-benar membahagiakan dirinya.
Manusia dan hewan memiliki kebahagiaan yang sama yaitu cukup minum,makan terpenuhi kebutuhan syahwatnya. Ada yang menganggap kebahagiaan ada pada harta yang banyak. Maka harta benda pun dikejar dengan segala cara. Menimbun minyak goreng misalnya, keadaan yang sedang viral saat ini, mereka bahagia didalik penderitaan orang. Yang lain mengira kebahagiaan adalah hidup bersama kekasih dengan cinta sejati, lalu perburuan pacar pun dimulai. Rela melakukan apapun demi (katanya) cinta.
Tidak cocok dengan satu orang, mencari lagi yang lainnya begitu seterusnya berganti-ganti. Ada juga yang merasa menemukan kebahagiaan pada makanan dan minuman yang enak-enak. Kebahagiaan adalah memeliki wajah yang rupawan, harta banyak, pendamping yang elok dan memiliki rumah bagus, pendapat yang lain mengatakan. Begitulah manusia mencoba menemukan kebahagiaan. Tetapi setelah semua materi didapat tak ada kebahagiaan yang memuaskan dan kekal.
Kebahagiaan itu menurut ahlinya tidak satu macam, tetapi bertingkat-tingkat.
Dari kebahagiaan tingkat dasar atau rendah hingga kebahagiaan tingkat tertinggi. Setidaknya ada empat kategori kebahagiaan.
Tingkat kebahagiaan yang pertama ada pada makanan yang enak.
Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan terendah. Makan (tentu saja dengan minum) adalah kebutuhan dasar manusia dalam hidup. Banyak manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja kesulitan. Susah mencari makan. Kadang sehari makan kadang tidak. Kalaupun mampu mendapatkan makanan sering tidak layak secara gizi maupun rasa. Karena itu mampu mendapatkan dan merasakan makanan yang banyak apalagi enak merupakan suatu kebahagiaan.
Banyak yang sudah mendapatkan kebahagiaan tingkat pertama ini, tetapi masih banyak yang mengganggap makanan enak adalah kemewahan yang harus diperjuangkan. Karena itu kebahagiaan ini juga berkaitan dengan uang dan harta yang memungkinkan bisa membeli makanan yang banyak dan enak.
Kebahagiaan tingkat kedua adalah seks.
Seks oleh sebagian orang dianggap puncak kebahagiaan di dunia. Seks adalah syurga dunia. Maka demi memenuhi kebahagiaan akan seksualitas seringkali orang lupa aturan. Perselingkuhan, zina, seks bebas mencendawan dimana-mana. Kawin-cerai, poligami juga merupakan tanda kecenderungan orang akan kebahagiaan tingkat dua (kebutuhan seks).
Tingkat yang ketiga adalah kebahagiaan intelektual.
Intelektualitas dianggap kebahagiaan yang melampaui kepuasan akan seks. Mungkin terkesan aneh, tapi begitulah adanya. Demi mendapatkan kebahagiaan ini banyak orang yang rela menghabiskan sebagian besar umurnya untuk terus belajar dan menggali ilmu tanpa henti.
Demi mencari kabahagiaan intelektual ini Imam Syafi’i rela menghabiskan harta bendanya untuk menggali ilmu-ilmu keislaman. Umurnya dihabiskan dengan riset dan menelaah kitab-kitab. Kaidah ushul fiqih dan kitab Al-Umm adalah buah karyanya yang amat cemerlang yang dipakai oleh jutaan umat Islam hingga saat ini. Atas nama mencari kebahagiaan intelektual (juga spiritual) ini Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah bin Badzdzibah Alju’fi atau lebih dikenal dengan Imam Bukhari mengembara ke pelbagai negeri mengumpulkan ratusan ribu hadits bahkan menghafalkannya. Diceritakan dalam biografi intelektualnya selama mengembara ia mempunyai 1080 guru yang terdiri dari ulama dan pakar hadits. Dalam kitab yang khusus mencatat guru-guru Imam Bukhari yakni kitab Usama Masyayikh Al-Imam Al-Bukhari yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Ishak bin Mandah Al-Isbahani, setidaknya mencatat 306 guru yang dimiliki oleh Imam Bukhari.
Luar biasa perjuangan para ulama dan intelektual demi mereguk kebahagiaan intelektual. Harta benda dan seksualitas pun “diabaikan.”
Kebahagiaan tingkat yang keempat adalah kebahagiaan spiritualitas.
Inilah puncak kebahagiaan tertinggi, yang oleh banyak orang justru diabaikan bahkan seolah tak menarik. Karena nikmatnya kebahagiaan ini oleh ulama digambarkan, sekiranya para raja dan sultan tahu kenikmatannya, tentu mereka akan merebut dengan segala cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Dijaman Rasul, Bilal bin Rabah dan keluarga Yasir adalah contoh yang merasakan manisnya kebahagiaan spiritual. Mereka tak sudi menukar kebahagiaan itu dengan harta dan kemewahan dunia, walaupun mereka disiksa dengan kejam. Bahkan keluarga Yasir bahkan hampir semuanya dibunuh dengan sadis.
Referensi: www.kompasiana.com
|
|